Senin, 18 April 2011

Semantik Bahasa

Semantik disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistic yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistic dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistic yang mempelajari makna atau arti baahasa. Oleh karena itu kata semantic dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti.
Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantic antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan atau relasi makna tersebut menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya.
Berikut ini akan dibicarakan masalah relasi makna kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas) dan kelebihan makna (redundansi).
A. Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Contohnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna
1. Bagian tubuh dari leher ke atas, seperti yang terdapat pada manusia dan hewan.
2. Bagian dari sesuatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal yang penting atau terutama.
3. Bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat.
4. Pemimpin atau ketua.
5. Jiwa atau orang.
6. Akal budi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia kata kepala setidaknya mengacu pada enam makna. Padahal sebenarnya pengertian awal bahwa setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni disebut sebagai makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya. Contohnya :
1. Kepalanya terluka akibat terkena pecahan kaca.
2. Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor.
3. Kepala jarum itu terbuat dari plastik.
4. Kepala kantor itu bukan paman saya.
5. Setiap kepala menerima bantuan Rp 5.000,00.
6. Badannya besar tetapi kepalanya kosong.
Jika kita perhatikan kata kepala dengan segala macam maknanya,maka kita dapat menyatakan bahwa makna-makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkut pautnya dengan makna asal , karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Makna-makna yang bukan makna asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal sebab tidak merujuk pada referen kata itu. Lagi pula kehadirannya harus pula dalam satuan-satuan gramatikal yang lebih tinggi dari kata seperti frase atau kalimat.kata kepala yang berarti ‘pemimpin’ atau ‘ketua’ baru muncul dalam pertuturan karena kehadirannya dalam frase seperti kepala sekolah. Tanpa kehadirannya dalam satuan gramatikal yang lebih besar dari kata, kita tidak akan tahu akan makna-makna lain itu. Berbeda dengan makna asalnya yang sudah jelas dari makna leksikalnya karena adanya referen tertentu dari kata tersebut.
B. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Ambiguitas atau ketaksaan adalah gejala yang dapat mengakibatkan kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda.tafsiran gramatikal yang berbeda itu umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena bahasa tulis unsur segmentalnya tidak dapat digambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi
1. Buku sejarah itu baru terbit.
2. Buku itu memuat sejarah zaman baru.
Contoh lain , kalimat Orang malas lewat di sana, dapat ditafsirkan sebagai
1. Jarang ada orang yang mau lewat di sana.
2. Yang mau lewat di sana hanya orang-orang malas.
Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Tetapi di dalam bahasa tulis penafsiran ganda ini dapat saja terjadi jika penanda-penanda ejaan tidak lengkap diberikan. Barangkali jika contoh buku sejarah baru dimaksudkan untuk makna atau penafsiran maka sebaiknya ditulis sebagai berikut:
1. Buku - sejarah baru.
2. Buku sejarah-baru.
Dari pembicaraan tersebut terlihat bahwa ketaksaan itu hanya terjadi dalam bahasa tulis, akibat dari perbedaan gramatikal karena ketiadaan unsur intonasi.




C. Redundansi
Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Misalnya, dalam kalimat Bola itu ditendang oleh Dika. Jadi tanpa menggunakan preposisi oleh maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola itu ditendang Dika. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi.yang berlebih-lebihan yang sebenarnya tidak perlu.
Secara semantik masalah redundansi sebetulnya tidak ada. Sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun berbeda. Jadi, kalimat Bola itu ditendang oleh Dika berbeda maknanya dengan kalimat Bola itu ditendang Dika. Pemakaian kata oleh pada kalimat pertama akan lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) daripada kalimat kedua yang tanpa kata oleh.
Sesungguhnya pernyataan yang mengatakan pemakaian oleh pada kalimat pertama adalah sesuatu yang redundansi atau mubazir karena makna kalimat itu tidak berbeda dengan kalimat yang kedua. Memang dalam ragam bahasa baku kita dituntut untuk menggunakan kata-kata secara efisien, sehingga kata-kata yang dianggap berlebihan sepanjang tidak mengurangi atau mengganggu makna, harus dibuang. Tetapi dalam analisis semantik, setiap penggunaan unsur segmental dianggap membawa makna masing-masing.

1 komentar:

Posting Komentar