This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 19 April 2011

Psycolinguistic

A. Pengertian Psikologi
Psikologi berasal dari bahasa Inggris psychology. Kata psychology berasal dari bahasa Greek ( Yunani ), yaitu akar kata psyche yang berarti jiwa, ruh, sukma, dan logos yang berarti ilmu. Jadi, secara etimologi psikologi masih berarti ilmu jiwa. Pengertian Psikologi sebagai ilmu jiwa dipakai ketika Psikologi masih berada atau merupakan bagian dari filsafat, bahkan dalam kepustakaan kita pada tahun 50-an ilmu jiwa lazim dipakai sebagai padanan Psikologi. Kini istilah ilmu jiwa tidak dipakai lagi. Bruno ( Syah, 1995 : 8 ) secara rinci mengemukakan pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan. Hal itu diantaranya :


Senin, 18 April 2011

Gaya Bahasa

A. Gaya Bahasa (majas)
Majas adalah gaya bahasa dalam bahasa tulis maupun lisan yang dipakai dalam suatu karangan. Majas dapat disebut cara penulis untuk mangungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadiannya.
Secara garis besar, gaya bahasa terdiri atas empat jenis, yaitu majas penegasan, majas pertentangan, majas perbadingan, dan majas sindiran.
1. Majas penegasan
a. Apofasis atau preterisio adalah gaya bahasa untuk menegaskan sesuatu dengan cara seolah-olah menyangkal hal yang ditegaskan.
Contoh:
Reputasi Anda di hadapan para karyawan sangat baik. Namun, dengan adanya pemecatan karyawan tanpa alasan saya ingin mengatakan bahwa Anda baru saja menghancurkan reputasi baik itu.
b. Repetisi adalah pengulangan kata, frasa, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberikan penekanan.
Contoh:
Bukan uang, bukan mobil, bukan juga rumah mewah yang aku harapkan dari ayah dan ibu. Aku hanya ingin ayah dan ibu ada di sini. Aku hanya ingin perhatian. Hanya itu, tidak lebih.
c. Aliterasi adalah pengulangan konsonan pada awal kata secara berurutan.
Contoh:
Budi baik bagai bekal bagi kehidupan kita.
d. Pleonasme adalah penggunaan kata yang mubazir yang sebenrnya tidak perlu.
Contoh :
Darah merah membasahi patriot itu.
e. Paralelisme adalah gaya bahasa yang memakai kata, frasa, atau klausa yang kedudukan sama atau sejajar.
Contoh:
Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas.
f. Tautologi adalah gaya bahasa berupa pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
Contoh:
Ia menjadi marah dan murka kepada orang yang menyerempet motor kesayangannya.
g. Inversi adalah gaya bahasa yang mendahulukan predikat sebelum subjek dalam suatu kalimat.
Contoh:
Kubelai rambutnya yang panjang.
h. Ellipsis adalah gaya bahasa yang menghilangkan beberapa unsur kalimat. Unsur-unsur yang hilang tersebut mudah ditafsirkan oleh pembaca.
Contoh:
Aku sudah memberimu modal uang, barang, bahkan waktuku bersama keluarga, tetapi hasilnya ....
i. Retoris adalah gaya bahasa untuk menanyakan sesuatu yang jawabannya telah terkandung dalam pertanyaan tersebut.
Contoh:
Siapa yang ingin hidup bahagia?
j. Klimaks adalah gaya bahasa yang berupa sususnan ungkapan yang makin lama makin mengandung penekanan atau makin meningkat kepentingannya dari gagasan atau ungkapan sebelumnya.
Contoh:
Perjuangan ini seharusnya berguna bagi diri kita, saudara, orang tua, nusa bangsa, negara, dan agama.
k. Antiklimaks adalah gaya bahasa untuk menentukan satu hal atau gagasan yang penting atau kompleks menurun kepada hal atau gagasan yang sederhana.
Contoh:
Persiapan pemilihan umum telah dilaksanakan secara serentak dari Ibu Kota Negara, ibu kota-ibu kota provinsi, kabupaten, kecamatan, dan semua desa di seluruh Indonesia, hingga di tingkat RW maupun RT.
l. Antanaklasis adalah gaya bahasa yang menggunakan pengulangan kata yang sama, tetapi maknanya berlainan.
Contoh:
Ada dua buah rumah kaca di halaman rumah Pak Saiman.
m. Pararima adalah bentuk pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
Contoh:
Bolak-balik, lika-liku, kocar-kacir.
n. Koreksio adalah gaya bahasa yang pada mulanya menegaskan sesuatu yang dianggap kurng tepat, kemudian diperbaiki.
Contoh:
Anak-amak silakan pulang, maaf, silakan keluar !
o. Sindeton adalah gaya bahasa untuk mengungkapkan suatu kalimat atau wacana yang setiap bagiannya dihubungkan oleh kata penghubung. Bila kata penghubung yang digunakan lebih dari satu atau banyak disebut polisindeton. Namun bila kata hubung tidak dinyatakan secara langsung atau dilesapkan, disebut asyndeton.
Contoh polisyndeton :
Dimana orang-orang berdedikasi dan berpendirian dan loyal mengabdikan dirinya ?
Contoh asyndeton :
Dan kesetiaan, keikhlasan, pengorbanan, rela mati, mereka menegakkan keadilan.
p. Eklamasio adalah gaya bahasa yang menggunakan kata seru.
Contoh:
Wow, sungguh luar biasa! Ternyata kamu mampu membuat lukisan sekelas Afandi.
q. Alonim ialah penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
Contoh:
Mae adalah varian dari Maemuna yang dalam sinetron “munajat cinta” di RCTI, 2008.
r. Interupsi adalah gaya bahasa yang menyisipkan keterangan tambahan diantara unsur-unsur kalimat.
Contoh:
Orang bilang, istri juragan haji, tetua di kampungnya yang sudah naik haji berulang-ulang, sombongnya minta ampun...
s. Preterio adalah ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
Contoh:
Lupakan semua ucapannya, anggap saja angin lalu.
t. Silepsis adalah gaya bahasa dengan menggunakan dua konstruksi sintaksis yang dihubungkan oleh kata sambung. Namun, hanya salah satu konstruksi yang maknanya utuh.
Contoh:
Fungsi dan sikap bahasa.
Seharusnya: fungsi bahasa dan sikap bahasa.

2. Majas Sindiran
a. Ironi adalah gaya bahasa untuk mengatakan suatu maksud menggunakan kata-kata yang berlainan atau bertolak belakang dengan maksud tersebut.
Contoh:
Manis sekali teh ini, gula mahal ya?
b. Sarkasme adalah gaya bahsa yang berisi sindiran kasar.
Contoh:
Mulutmu harimaumu
c. Sinisme adalah sindiran yang berbentuk kesangsian cerita yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan hati.
Contoh:
Pemimpin itu benar-benar adil sehingga seluruh rakyat hidup dalam kemewahan.
d. Antifrasis adalah gaya bahasa ironi dengan kata atau kelompok kata yang maknanya berlawanan.
Contoh:
Lihatlah sang perjaka tampan tela tiba. (maksudnya si buruk rupa)
e. Inuendo adala sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.
Contoh:
Mari kita simak sepatah dua patah kata sambutan dari ketua panitia.

3. Majas Pertentangan
a. Antithesis adalah gaya bahasa yan mengungkapkan suatu maksud dengan menggunakan kata-kata yang saling berlawanan.
Contoh:
Tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, semua menghadiri rapat raksasa itu.
b. Paradoks adalah gaya bahasa untuk mengungkapkan 2 hal yang seolah-olah saling bertentangan namun sebenarnya keduanya benar.
Contoh:
Dia memang menejer tersohor tetapi nyalinya kecil.
c. Oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama.
Contoh:
Keramah tamahan yang mencelakan.
d. Anakronisme adalah gaya bahasa yang mengandung ketidaksesuaian antara peristiwa dengan waktunya.
Contoh:
Arjuna saling mengirim sms dengan srikandi untuk melepas rasa rindu.
e. Kontradiksi interminus adalah gaya bahasa yang berisi sangkalan terhadap pernyataan yang disebutkan sebelunya.
Contoh:
Siswa yang tidak berkepentingan dilarang masuk, kecuali panitia lomba.
4. Majas perbandingan
a. Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal benda secara singkat dan padat.
Contoh:
Buku adalah jendela ilmu
b. Sinestesia adalah gaya bahasa yang mempertukarkan dua indera yang berbeda.
Contoh:
Febri sangat manis saat memakai rok ke kampus
c. Simile adalah gaya bahasa perbandingan yang ditandai dengan kata depan dan penghubung seperti, layaknya, bagaikan, bagai, ibarat, umpama, bak dan laksana.
Contoh:
Hubungan Ayu dan Wahda tidak pernah akur, bagai kucing dan tikus.
d. Alegori adalah gaya bahasa untuk mengungkapkan suatu hal melui kiasan atau penggambaran.
Contoh:
Cicak dan buaya (fabel)
e. Alusio adalah gaya bahasa yang berusaha menyugestikan kesamaan antara orang tempat atau peristiwa.
Contoh:
Semangat Bandung Lautan Api menggelora di hati kami.
f. Metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan nama merek atau atribut tertentu untuk menyebut suatu benda.
Contoh:
Thunder selalu setia menemani Asri tiap kali ia ke kampus.
g. Antonomasia adalah gaya bahasa yang menggunakan nama diri, gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.
Contoh:
Terima kasih, dokter!
h. Antropomorfisme adalah bentuk metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
Contoh:
Jakarta menjadi jantung perekonomian Indonesia.
i. Aptronim adalah gaya bahasa yang mengandung penyebutan seseorang sesuai dengan sifat atau pekerjaan orang.
Contoh:
Si cebol berlari kencang sambil membawa bola melewati lawan-lawannya.
j. Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan.
Contoh:
Senyuman Ibnu melemahkan sendi-sendi tubuhku hingga aku tak berdaya.
k. Litotes adalah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang bersifat mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.
Contoh:
Goresan pena ini adalah hadiah untuk ibu.
l. Hipokorisme adalah gaya bahasa yang penggunaan katanya mengandung hubungan karib antara pembicara dengan yang dibicarakan.
Contoh:
“kehidupan itu kejam, nak. Sadis! Bahkan samapi diluar nalar manusia. Untung kamu tidak perlu melihat itu semua”’
m. Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
Contoh:
Ombak itu menyapaku dengan lembut.
n. Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan sebagian, tetapi yang dimaksud ialah seluruh bagian atau sebaliknya.
1) Pars pro toto (menyebut sebagin hal untuk menyatakan keseluruhan).
Contoh:
Saya belum melihat batang hidungnya.
2) Totem pro parte (menyebutkan seluruh hal untuk menyatakan sebagian)
Contoh:
Dalam pertandingan itu Indonesia menang satu lawan Korea.
o. Eufimisme adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata halus atau lebih pantas untuk mengganti kata-kata yang dipandang tabu atau kasar.
Contoh:
Anak itu lamban dalam menerima pelajaran dari gurunya.
p. Perifrase adalah gaya bahasa untuk menggantikan suatu kata atau kelompok kata lain. Kata atau kelompok kata tersebut dapat beruap nama tempat, nagara, benda atau sifat tertentu.
Contoh:
Berlibur di Pulau Dewata adalah impianku. (Pulau Dewata = Bali)
q. Simbolik adalah gaya bahasa untuk melukiskan suatu maksud dengan menggunakan simbol atau lambang.
Contoh:
Banyak tikus berkeliaran di gedung rakyat. (tikus merupakan simbol koruptor)

Sejarah Sastra Indonesia

• PERIODE BALAI PUSTAKA
Pemerintah Belanda pada tahun 1908 mendirikan sebuah badan penerbit dengan nama Commkssie voor de Volkslectuur atau Taman Bacaan Nasional. Awal mula adanya badan penerbit commissie voor volksclectuur yaitu bermula dari kebijakan pemerintah Belanda menerapkan politik etis. Pemerintah Belanda menyadari salah satu langkah untuk menarik simpati rakyat Indonesia adalah mendirikan sekolah-sekolah untuk bumiputera. Di samping itu, kepandaian membaca dan menulis semakin luas di kalangan rakyat. Hal tersebut oleh pemerintah Belanda dianggap suatu bahaya jika dibiarkan mendapat buku-buku bacaan yang sifatnya menghasut rakyat Indonesia.
Setelah badan penerbit commissie voor de volkslectuur berjalan selama kurang lebih 9 tahun,memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat maka pada tahun 1917 namanya diubah menjadi Balai Pustaka. Periode Balai Pustaka dikenal pula dengan nama angkatan Siti Nurbaya dan juga lazim disebut angkatan dua puluhan.
Pada periode ini dikenal beberapa pengarang dengan karangannya masing-masing, baik puisi, roman/novel maupun drama antara lain Muhammad Yamin, Sanusi Pane, dan Roestam Effendi dan lain-lain. Dapat dikatakan bahwa jumlah pengarang pada periode ini cukup banyak. Mungkin hal ini disebabkan karena mereka didorong oleh keinginan dan semangat yang sama yaitu mengungkapkan pengetahuan dan pengalaman yang mereka peroleh dari barat (dalam bentuk roman) dan didorong pula oleh semangat untuk mencapai kemerdekaan bamgsanya (dalam bentuk puisi).
Ciri-ciri ekstrinsik karya sastra periode balai pustaka antara lain
 Karya sastranya masih bersifat didaktis atau mengandung nasihat.
 Bersifat romantis
 Latar kehidupan yang digunakan yaitu masih latar kehidupan sehari-hari.
Ciri-ciri intrinsic karya sastra periode balai pustaka antara lain
 Tema yang digunakan kebanyakan bertema percintaaan (permaduan)
 Latar ceritanya pedesaan atau kehidupan daerah
 Cita-cita kebangsaan masih belum dipikirkan

• PERIODE PUJANGGA BARU
Periode ini sebenarnya merupakan suatu realisasi dari menggeloranya semangat persatuan yang hidup di kalangan bangsa Indonesia sejak permulaan abad 20 dengan dipelopori oleh kaum terpelajar, yaitu pada 28 Oktober 1928 menyatakan tekad mengadakan Sumpah Pemuda.
Pada waktu itu golongan sastrawanpun tak mau ketinggalan berjuang untuk membentuk persatuan bangsa dengan mengadakanpembaharuan dalam bidang kesusastraan. Hal itu dapat dilihat dari mejalah Timboel, Majlah Panji Pustaka yang sejak tahun 1932 dipimpin oleh Sutan Takdir alisyahbana. Di samping itu, angkatan 30-an muncil akibat ada tali kendali Balai Pustaka yang menyebabkan pengarang-pengarang muda merasa terisolasi oleh ketemtuan-ketentuan tersebut, sehingga tidak mengherankan jika akhirnya mereka berprakarsa untuk mendirikan perkumpulan lain yang lebih sesuai sebagai tempat penyaluran keinginan dan cita-cita mereka. Dengan bermodalakn keinginan, kemauan, dan semangat pada akhirnya lahirlah sebuah ikatan para pengarang muda yang kemudian lebih dikenal dengan nama Pujangga Baru.
Adapun yang dianggap sebagai pelopor angkatn Pujangga Baru itu ialah Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Amir Hamzah. Roman yang paling terkenal pada masa ini yaitu roman karangan Sutan takdir Alisyahbana yang berjudul Layar Terkembang.
Ciri-ciri intrinsik karya sastra periode Pujangga Baru antara lain:
 Puisinya telah banya dipengaruhi oleh puisi dari luar yaitu dari Belanda
 Karya satra yang dihasilkan sudah tidak menggunakan kata-kata ambigu
 Menggunakan prosa lurus dan teknik bulat
 Perwatakan yang digunakan belum bervariasi
 Masi belum menggunakn kalimat yang mengandung peribahasa
 Masih bersifat romantic
Ciri-ciri ekstrinsik karya sastra periode Pujangga Baru antara lain:
 Latar ceritanya telah bersifat mesyarakat modern
 Nasionalisme telah ditampakkan
 Karya sastra puisinya diterbitkan oleh swasta.

• PERIODE JEPANG
Zaman penjajahan Jepang di bumi Indonesia mempunyai arti yang sangat penting dalm perputaran sejarah Indonesia. Bahasa Indonesia yang pada mulanya oleh pemerintah Belanda diusakan dengan berbagai cara agar tidak menjadi bahasa persatuan, oleh pemerintah Jepang justru dijadikan satu-satunya bahasa yang harus digunakan di seluruh Nusantara dan sekaligus dalam seluruh bidang kehidupan, sedangkan bahasa Belanda dilarangnya. Dengan demikian jelas memacu pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia, maka sastra Indonesia pun mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sederajat dengan pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia itu sendiri. Namun ternyata pemerintah Jepang mengetahui dampak dari penggunaan bahasa Indonesia itu sendiri. Serta pada masa ini terjadi pertentangan sastrawan dimana Chairil Anwar dan kawan-kawan tidak ingin bergantung dengan lembaga-lembaga yang didirikan oleh pemerintah Jepang, sementara sastrawan Amiruddin dan kawan-kawan mendukung pemerimtahan Jepang
Sastrawan-sastrawan yang telah muncul dan aktif pada periode Jepang antra lain Usmar Ismail, Idrus, Rosihan Anwar, Chairil Anwar dan lain-lain. Karya sastra yang paling dominan pada periode ini adalah cerita drama. Hal itu dikarenakan pada masa itu warga Indonesia jenuh terhadap roman-roman dan mulai melirik cerita drama atau sandiwara-sandiwara.
Ciri-ciri karya sastra periode Jepang antara lain:
 Karya sastra seperti puisi, cerpen drama bersifat simbolik karena selalu dihantui bahwa karyanya akan disensor oleh lembaga-lembaga Jepang.
 Karya sastranya berisi sindiran kepada lembaga Belanda yang saling bertentangan.
 Karya sastra yang ditampilkan berisi kebimbangan atau keraguan.





• PERIODE 45
Pengakuan berdirinya angkatan 45secara sah dan resmi yaitu berdasarkan surat kepercayaan gelanggang yang tertanggal 18 Februari 1950. Surat kepercayaan gelanggang tersebut berisi bahwa mereka akan menuju kebudayaan dunia yang universal. Jadi, Kebudayaaan Indoenesia baru itu tidak saja disajikan hanya untuk bangsa Indonesia saja, melainkan kepada manusia dunia. Hal ini berarti kebudayaan baru harus meninggalkan jejak kebudayaan lama yang henya selalu mementingkan unsur-unsur kedaerahan saja. Dengan kata lain, bahwa Angkatan 45 mempunyai konsepsi humanisme universal.
Pelopor Angkatan 45 antara lain Idrus dan Chairil Anwar. Idrus dipandang sebagai pelopor pengarang prosa dalam angkatan 45 karena dengan corat-coretnya yang berjudul Soerabaya dan corat0coret di bawah tanah degan tegas ia membuktikan putusnya hubungan antara prosa sebelum perang dan setelah perang. Seperti halnya dengan Chairil Anwar dengan puisinya yang berusaha mengadakan pembaharuan kebiasaan yang kolot. Demikian halnya dengan Idrus membawa perubahan dalam bidang prosa ialah berupa kesederhanaan yang membedakan prosa pada zaman sebelumnya. Jika kita simak, pada hakikatnya kesusastraan angkatan 45 tidak dapat dipisahkan dari kesusastraan zaman pemerintahan Jepang, baik dalam hal bentuk, isi, maupun gaya bahasanya. Dalam ini tidaklah mengherankan mengingat bahwa pengarang yang tampil pada awal periode 45 adalah mereka yang telah benyak berbuat pada zaman Jepang.
Ciri-ciri intrinsic karya sastra angkatan 45 antara lain:
 Puisi-puisinya bebas, artinya puisi tersebut sudah tidak terikat pada tema, rima, dan irama.
 Gaya puisinya brsifat ekspresinisme, artinya mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya.
 Aliran dan gayanya yaitu realism, pengungkapannya berdasarkan kenyataan yang benar-benar terjadi.
 Diksi katanya mencerminkan pengalaman batin.
 Kosa katanya mempergunakan gaya bahasa sehari-hari.
 Menggunakan gaya ironi dan sinisme.
Ciri-ciri ekstrinsik karya sastra angkatan 45 antara lain:
 Individualisme ditonjolkan.
 Bersifat universalistik sesuai dengan konsepsi humanisme universal yamg digunakan.
 Bersifat futuristic yakni selalu mengacu kepada masa depan.





• PERIODE 1953-1961
Dalam pembabakan ini digunakan istilah “periode” dan bukan “angkatan “ karena “angkatan “ dlam bahasa Indonesia sekarang telah menimbulkan berbbagai kekacauan. Pada periode ini terjadi krisis sastra sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia. Menurut Soejatmoko, Krisis sastra timbul sebagai akibat dari krisis kepemimpinan. Ia lebih lanjut mengatak bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis sastra karena yang sedang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang melingkar sekitar psikologisme perseorang semata. Roman-roman besar tak ada ditulis. Sedangkan menurut Nugroho Noto Susanto,S.M menolak penamaan tersebut karena menurutnya sastra Indonesia sedang hidup dengan subur.
Beberapa sastrawan yang muncul pada periode ini antara lain Nugroho Noto Susanto, A.A.Navis, toto Sudarto Bachtiar, W.S.Rendra dan lain-lain. Penyair yang paling popular pada periode ini antara lain Toto Sudarto Bachtiar dan W.S.Rendra. hanya saja W.S.Rendra lebiih popular dari Toto Sudarto Bachtiar dikarenan W.S.Rendra tidak hanya sebai penyai melainkan juga sebagai dramawan berbakat yang ditandai dengan didirikannya Taman Teater miliknya.

• PERIODE 1961-1970
Pada peride 50-an suasana berubah. Pada masa sebelumnya bangsa Indonesia berjuang untuk satu tujuan mencapai kemerdekaan. Setelah kemerdekaan diperoleh dan pepereangan telah berakhir, pemimpin-pemimpin mulai melihat pada diri mereka masing-masing. Mereka mulai berperang untuk golongan partai bahkan untuk diri mereka sendiri.
Perkembangan sastra pada periode ini tidak menampakkan peningkatan daripada masa lalu. Roman-roman lama tidak ada yang terbit sehingga timbul penamaan sastra majalah. Sejalan dengan kehidupan masyarakat dalam kehidupan sastra timbullah dua aliran yang bertentangan, antara paham realism sosialis yang menjadi filsafat seni kaum komunis, dengan golongan sastrawan yang berpaham humanism universal.
Pada tahun 1950 Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) berdiri. Lekra dengan tegas menganut seni untuk rakyat yang menghantam sastrawan yang beraliran seni untuk seni. Keadaan politik makin lama makin tidak sesuai bagi kegiatan sastra yang bebas. Kedudukan Lekra pun makin kuat. Mereka memaksakan agar ada keseragaman dalam berkarya yang sesuai dengan paham mereka.maka pada tanggal 17 Agustus 1963, H.B> Jassin mengumumkan Manifes Kebudayaan dalam majalah sastra. Manifesto tersebut merupakan suatu dokumen yang amat hati-hati yang didalamnya Pancasila ternyata diakui sebagai falsafah kebudayaan Indonesia. Manifesto sebenarnya memiliki hubungan yang erat dengan Surat Kepercayaan Gelanggang. Keduanya sama-sama mengeluarkan prinsip kesenian yang berlandaskan humanisme universal.


• PERIODE KONTEMPORER (ANGKATAN 70-AN)
Sastra Kontemporer juga biasa disebut sastra mutakhir, lahir pada tahun 70-an sehingga periode 70-an ini pernah diusulkan untuk diberi nama angkatan 70-an. Penamaan tersebut muncul sejak Sutardji Calzoum Bachri menolak kata sebagai tumpuan ide. Kredo puisi merupakan keyakinan Sutardji Calzoum Bachri yamg dituangkan dalam puisi.
Ciri-ciri Sastra Kontemporer khususnya bidang puisi antara lain:
 Puisi yang menolak kata sebagai media ekspresi
 Puisi yang bertumpu pada symbol-simbol kata dan menampilkan seminimal mungkin kata sebagai intinya.
 Puisi yang bebas memasukkan unsur-unsur bahasa asing atau bahasa daerah, dalam kumpulan Bangsat yang berjudul Main Cinta Model Kawang Wung.
 Puisi yang memakai kata-kata supra, kata-kata konvensional yang dijungkirbalikkan dan belum dikenal masyarakat umum, bentuk kebatinan judul Puisi jaman Bahari Gerisa.
 Puisi yang menggambarkan tipografi secara cermat, sebagai bagian dari ekspresi dalam kumpulan O.
 Puisi berpijak pada bahasa konvensional, tetapi diberi tenaga baru dengan cara menciptakan idiom-idom baru. Dalam karya Sutardji kumpula O yang berjudul jadi.
 Puisi yang memotong-motong kata menjadi suku kata dan membalikkan suku kata tersebut. (Sutardji Calzoum Bachri) dalam Tragedi Winka dan Sihka.

Tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam bentuk puisi ini antara lain Sutardji calzoum Bachri, Jeihan, Darmanto JT, Sides Sudarto, Ibrahim Sattah.

Teori Belajar Bahasa

Pengertian teori menurut Kerlinger yang dikutip Sapani (1998) adalah suatu himpunan pengertian atau konsep yang saling berkaitan yang menyajikan pandangan sistematis tentang gejala dengan jalan menetapkan hubungan yang ada diantara variabel – variabel dengan tujuan untuk menjelaskan serta meramalkan gejala – gejala tersebut.
Sedangkan pengertian teori belajar bahasa adalah teori mengenai bagaimana manusia mempelajari bahasa, dari tidak bisa berkomunikasi antar sesame manusia dengan medium bahasa menjadi berkomunikasi dengan baik. Kegunaan teori, termasuk didalamnya teori belajar bahasa yaitu
a) Menyempurnakan suatu praktik
b) Memperjelas sesuatu,membuat orang mengerti sesuatu
c) Dapat merangsang pengetahuan baru dengan jalan memberikan bimbingan ke arah penyelidikan selanjutnya.


B. Teori Mentalisme
Teori mentalisme merupakan kebalikan dari teori behaviorisme dimana teori ini lebih cenderung pada pembahasan yang bersifat batiniah. Menurut N. Chomsky (dalam sumardi, 1992:97) bahwa pemerolehan bahasa tidak dapat dicapai melalui pembentukan kebiasaan karena bahasa terlalu sulit untuk dipelajari dengan cara semacam itu apalagi dalam waktu yang singkat.
Sementara itu ada beberapa pendapat kaum mentalis tentang pembelajaran dan pemerolehan bahasa yang dikutip oleh Sapani (1998:14):
a) Bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia
b) Perilaku bahasa adalah suatu yang diturunkan
c) Pemerolehan bahasa berlangsung secara alami
d) Pola perkembangan bahasa sama pada berbagai macam bahasa dan budaya
e) Setiap anak sudah dibekali dengan piranti penguasaan bahasa sebagai bawaan dari lahir
f) Aliran mentalis tidak setuju menyamakan proses belajar pada manusia dengan yang terjadi pada binatang
g) Belajar bahasa tidak sekedar latihan – l;atihan mekanistis melainkan lebih kompleks

C. Teori kognitivisme
Teori ini beranggapan bahwa belajar merupakan penghubung antara pemahaman yang satu dengan yang lain untuk menghasilkan pemahaman tentang materi baik berupa asimilasi maupun akomodasi. Sehingga pembelajaran bisa berjalan utuh dan bermakna.


TEORI PEMBELAJARAN BAHASA

Dalam kajian linguistik terdapat banyak teori pemerolehan bahasa, tetapi secara keseluruhannya, teori-teori tersebut boleh digolongkan kepada dua golongan besar iaitu Teori Mekanis dan Teori Mentalis. Noam Chomsky meletakkan teori Mekanis sebagai Teori Empirisis dan Teori Mentalis yang digerakkannya sendiri sebagai Teori rasionalis. Sementara W.M. Rivers pula menyebut Teori Mekanis sebagai Teori Aktivis dan Teori mentalis pula sebagai teori Formalis. Dan aliran yang terbentuk daripada kedua-dua teori ini disebut pula sebagai Aliran Behaviourisme dan Aliran Mentalisme.
Teori Mentalis
Teori Mentalis ini pula amat bertentangan dengan teori mekanis. Teori Mekanis yang banyak menggunakan percubaan ke atas haiwan dan menerapkan bahawa pembelajaran dan pengukuhan bahasa boleh berjaya jika adanya rangsangan dan gerak balas telah disangkal oleh golongan mentalis ini dengan mengatakan bahawa manusia sebagai “makhluk yang berfikir” dan berbeza dengan makhluk haiwan. Pembelajaran dan pengukuhan bahasa didapati secara sedar atau dengan kata lain berhubung kait dengan daya fikir seseorang.
Menurut Noam Chomsky (1959) proses pembelajaran bahasa peringkat permulaan diperolehi tidak semata-mata bergantung kepada operasi rangsang dan gerak balas sahaja. Proses Kognitif sudah pasti turut serta. Tanpa peranan kognitif, perkembangan bahasa terbatas pada yang dapat dialami sahaja, pada hal semua komponen bahasa berkembang secara kreatif atau melangkau batasan pengalaman naluriah iaitu rangsangan dan gerak balas. Perkembangan bahasa secara kreatif adalah hasil turut sertanya peranan operasi mental atau kognitif.
Seperti yang kita maklum bahawa bahasa adalah tindakan kreatif yang hanya ada pada manusia. Kreativiti manusia menggunakan bahasa hanya dapat difahami dengan menerima hakikat bahawa bahasa adalah satu sistem yang teratur sebagai sebahagian daripada proses kognitif manusia. Dalam hal inilah, sebarang teori yang digerakkan dengan rangsangan dan gerak balas mampu menghurai kreativiti dan kelenturan orang menggunakan bahasa.
Diller (1971) yang membincangkan teori mentalis ini membuat empat andaian berikut:
• Bahasa yang hidup itu bersifat satu tingkah laku yang ditetapkan dengan peraturan-peraturan,

• Bahasa digunakan untuk berfikir;

• Peraturan-peraturan tatabahasa itu nyata darisegi psikologi; dan
• manusia adalah unik dengan keupayaannya berbahasa.

Seperkara lagi tentang teori mentalis ini ialah seseorang kanak-kanak telah dilahirkan dengan innate capacity (kebolehan semula jadi) yang membentuk keupayaan berbahasa dan proses penguasaannya bergantung kepada kematangan.


TEORI MENTALIS / KOGNITIF
Pelopor teori ini adalah Noam Chomsky (1960-an), Miller, Katz dan Lakoff.
Tanggapan yang menjadi pegangan asas golongan ini ialah :
1.Mereka berpendapat bahawa manusia sejak lahir lagi sudah mempunyai
kebolehan untuk menguasai bahasa. Menurut mereka juga, kanak-kanak mempunyai keupayaan semulajadi untuk merumus dan membentuk ayat- ayat mengikut sistem bahasa yang mereka perolehi dengan syarat mereka itu terdedah kepada penggunaan bahasa tersebut. golongan ini juga berpendapat bahawa ada suatu jangkaan masa tertentu yang merupakan satu masa subur untuk bahasa berkembang dan kalau masa itu terlangkau, penguasaan kanak-kanak itu akan terhalang.
2. J. Piaget berpendapat bahawa manusia memiliki peringkt otak (mental) dan saraf yang tinggi dan dengan otaknya manusia mempunyai kebolehan untuk mempelajari pelbagai perkara. Tegasnya, proses pembelajaran ialah proses mental bukannya proses mekanis. 3.N. Chomsky berpendapat bahawa seorang kanak-kanak telah dilahirkan dengan kecekapan semula jadi unutk menguasai bahasa apabial sampai peringkat kematangannya yang tertentu. Pada tiap-tiap peringkat kemtangan kanak-kanak tersebut akan membentuk hipotesis-hipotesis terhadap peraturan-peraturan ahli masyarakatnya. Segala pembetulan Hasil daripada teori ini timbul beberapa kaedah pengajaran bahasa seperti kaedah kognitif, dan sebagainya. Mangantar Simandjuntak (1987) menyatakan bahawa teori ini juga mengakui adanya pembelajaran melalui ‘trial and error’ (cuba ulang) tetapi dijalankan dengan penuh kesedaran.
Samsu Yaacob dan Marzhuki Nyak Abdullah (1988) membandingkan kedua-dua teori ini dengan mengatakan bahawa teori mekanis mempunyai alasan yang lebih kukuh daripada hujah-hujah yang dikemukakan oleh golongan mentalis, yang lebih mementingkan innate capacity tetapi tidak dapat dibuktikan secara terperinci.
Golongan mekanis menganggap bahawa otak adalah sebagai kotak gelap dan manusia belajar menerusi perilaku serta memperoleh bahasa kerana adanya pengaruh persekitaran. Sedangkan golongan mentalis pula menganggap bahawa pembelajaran bahasa yang mengetepikan fungsi otak atau fikiran adalah teori yang tidak bermakna.
kesalahan yang dibuat oleh ahli masyarakatnya akan memperkukuhkan
lagi rumus-rumus bahasa yang tersimpan di dalam otaknya.

3.N. Chomsky berpendapat bahawa seorang kanak-kanak telah dilahirkan dengan kecekapan semula jadi unutk menguasai bahasa apabial sampai peringkat kematangannya yang tertentu. Pada tiap-tiap peringkat kemtangan kanak-kanak tersebut akan membentuk hipotesis-hipotesis terhadap peraturan-peraturan ahli masyarakatnya. Segala pembetula

4. Salah satu daripada teori E.H Lenneberg (1967) tentang pemerolehan bahasa ialah bahawa semua kanak-kanak yang sihat dan normal mulai bercakap dan bertutur pada peringkat umur yang agak sama. Hal ini bermakna bahawa perkembangan dan kebolehan untuk berbahasa itu terjadual secara biologis. Oleh itu, apabila sudah sampai masanya, maka seseorang kanak-kanak itu akan dengan serta merta menjadi tertarik terhadap segala bunyi yang didengarnya dan dia dapat menajamkan pancainderanya. Dengan itu, dia berupaya memahami dan memilih bunyi yang penting dan mengenepikan segala yang lain seperti yang dperhatikan oleh Lenneberg.
1.1.2.2 Teori Mentalis

Rekayasa Bahasa

BAB II
PEMBAHASAN

Topik-topik yang dibahas dalam rekayasa bahasa antara lain:
A. Kebijaksanaan Bahasa
Berdasarkan rumusan yang disepakati dalam seminar politik bahasa nasional yang diadakan di Jakarta tahun 1975 maka kebijaksanaan bahasa itu dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional (Halim, 1976). Jadi, kebijaksanaan bahasa merupakan satu pegangan yang bersifat nasional untuk membuat perencanaan tentang cara membina dan mengembangkan satu bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan secara tepat di seluruh negara, dan dapat diterima oleh segenap warga yang secara lingual, etnis, dan kultur berbeda.
Tujuan kebijaksanaan bahasa adalah berlangsungnya komunikasi kenegaraan dan komunikasi interbangsa dengan baik tanpa menimbulkan gejolak sosial dan emosional yang dapat mengganggu stabilitas bangsa.
Kebijaksanaan bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunikasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Selain memberikan keputusan mengenai status dan fungsi suatu bangsa, kebijaksanaan bahasa juga harus memberi pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa yang biasa disebut korpus bahasa. Korpus bahasa menyangkut semua komponen bahasa yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata, dan semantik. Komponen ini harus juga diperhatikan agar kebijaksanaan itu bersifat menyeluruh dan tuntas. Selanjutnya segala masalah kebahasaan yang ditemukan dalam menetapkan kebijaksanaan harus segera dirumuskan dalam bentuk perencanaan bahasa.

B. Perencanaan Bahasa
Perencanaan bahasa merupakan kegiatan yang harus dilakukan sesudah melakukan kebijaksaan bahasa. Istilah perencanaan bahasa mula-mula digunakan oleh Haugen (1966) untuk pengertian usaha untuk membimbing pengembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang sudah diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan.

Di Indonesia, kegiatan yang serupa dengan language planing ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu dikenal ole Haugen yakni sejak zaman pendudukan jepang ada Komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisahbana menerbitkan majalah Pembina Bahasa Indonesia tahun 1948. Bahkan, jika dilihat lebih jauh, language planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa Melayu (Indonesia) pada tahun 1901 , disusul dengan berdirinya Commisie voor Volkslectuur tahun 1908, yang pada tahun 1917 berubah namanya menjadi Balai Pustaka, lalu disambung dengan Sumpah Pemuda tahun 1928 kemudian Kongres Bahasa 1 tahun 1938 di Solo (Chaer & Agustina, 1995: 244).
Istilah yang digunakan Alisyahbana adalah language engineering. Cita-cita Alisyahbana adalah mengembangkan bahasa yang teratur di dalam konteks perubahan sosial, budaya dan teknologi yang lebih luas berdasarkan perencanaan yang cermat. Menurut Alisyahbana, language engineering yang penting adalah pembakuan bahasa, pemodernan bahasa, dan penyediaan alat perlengkapan seperti buku pelajaran dan buku bacaan (Moeliono, 1985).
Dari uraian di atas ada berbagai istilah dengan berbagai variasi pengertian tentang perencanaan bahasa. Namun, ada suatu kesamaan, yaitu usaha untuk membuat penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa dalam satu negara menjadi lebih baik dan lebih terarah di masa depan.
Dari berbagai kajian dapat dilihat sasaran perencanaan bahasa itu (yang dilakukan setelah menetapkan kesatuan bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan), yaitu pembinaan dan pengembangan bahasa yang direncanakan (sebagai bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan, dsb) dan khalayak di dalam masyarakat yang diharapkan akan menerima dan menggunakan saran yang diusulkan dan ditetapkan.
C. Pembakuan Bahasa
1. Bahasa Baku
Berbicara tentang bahasa baku (lebih tepat disebut ragam bahasa baku) dan bahasa karena yang disebut bahasa baku itu adalah salah satu variasi bahasa (dari sekian banyak variasi) yang diangkat dan disepakati sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolok ukur sebagai bahasa yang baik dan benar dalam komunikasi yang bersifat resmi baik lisan maupun tulisan.
Bahasa ragam baku adalah ragam bahasa yang sama dengan bahasa resmi kenegaraan yang digunakan dalam situasi resmi kenegaraan termasuk dalam pendidikan, dalam buku pelajaran, dalam undang-undang, dsb. Sejalan dengan itu, Halim mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian warga masyarakat pemakaiannya sebagai ragam resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dan penggunaanya, sedangkan ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilambangakan dan ditandai dengan ciri-ciri yang menyimpang dari norma baku. Sebagai kerangka rujukan, ragam baku ditandai oleh norma dan kaidah yang digunakan sebagai pengukur benar atau tidaknya penggunaan bahasa.

2. Fungsi Bahasa Baku
Selain fungsi penggunaan untuk situasi-situasi resmi, ragam bahasa baku menurut Gravin & Mathiot (1968 :785-787) juga mempunyai fungsi lain yang bersifat sosial politik, yaitu 1)fungsi pemersatu, 2)fungsi pemisah, 3) fungsi harga diri, 4) fungsi kerangka acuan.
Yang dimaksud dengan fungsi pemersatu adalah kesanggupan bahasa baku untuk menghilangkan perbedaan variasi dalam masyarakat dan membuat terciptanya kesatuan masyarakat tutur serta memperkecil adanya perbedaan variasi dialektal dan menyatukan masyarakat tutur yang berbeda dialeknya.
Yang dimaksud dengan fungsi pemisah adalah ragam bahasa baku itu dapat memisahkan atau membedakan penggunaan ragam bahasa untuk situasi yang formal dan yang tidak formal. Pemisahan fungsi ragam baku dan nonbaku tidak akan menimbulkan persoalan atau gejolak sosial selama ragam-ragam tersebut digunakan pada tempatnya.
Yang dimaksud dengan fungsi harga diri dalah bahwa pemakai ragam baku itu akan memiliki perasaan harga diri yang lebih tinggi daripada yang dapat menggunakannyasebab ragam bahasa baku biasanya tidak dapat dipelajari dari lingkungan keluarga atau lingkungan hidup sehari-hari. Ragam baku hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Fungsi harga diri ini menurut Fishman (1970) bahwa ragam bahasa baku mencerminkan cahaya kemuliaan, sejarah, dan keunikan seluruh rakyat. Ragam baku juga merupakan lambang atau simbol suatu masyarakat tutur.
Yang dimaksud dengan fungsi kerangka acuan adalah ragam bahasa baku itu akan dijadikan tolok ukur untuk norma pemakaian bahasa yang baik dan benar secara umum.
Keempat fungsi itu dapat dilakukan oleh sebuah ragam bahasa baku kalau ragam bahasa baku itu telah memiliki tiga ciri yang sangat penting, yaitu : 1) kemantapan yang dinamis, 2) kecendekiaan dan 3) ciri kerasionalan.
3. Pemilihan Ragam Baku
Dari sekian banyak ragam atau variasi suatu bahasa, ragam atau variasi mana yang harus dipilih untuk dijadikan ragam bahasa baku? Dalam hal ini Moeliono (1975: 2) mengatakan pada umumnya yang layak dianggap bahasa baku adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaanya. Termasuk di dalamnya para pejabat negara, para guru, warga media massa, alim ulama, dan cendekiawan.
Dasar atau kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan atau memilih sebuah ragam menjadi ragam bahasa baku antara lain: 1). Otoritas, 2). Bahasa penulis-penulis terkenal, 3). Demokrasi, 4). Logika, dan 5). Bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka dalam masyarakat.
Dewasa ini otoritas untuk pembakuan bahasa Indonesia ada pada Lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, dalam proses pembakuan bahasa Indonesia sudah seharusnya lembaga ini mencari dan mengumpulkan data (yang di ambil dari orang terkemuka), menganalisis, mengatur, dan menyusun kaidah-kaidah lalu menyebarluaskan kepada masyarakat luas.
4. Bahasa Indonesia Baku
Secara resmi fonem-fonem bahasa Indonesia telah ditentukan keberadaannya tetapi mengenai lafal atau ucapannya belum pernah dilakukan pembakuan. Namun, ada semacam konsensus yang merumuskannya berbentuk negatif, bahwa yang disebut lafal bahasa Indonesia yang benar adalah lafal yang tidak lagi menampakkan ciri-ciri bahasa daerah.
Pembakuan dalam bidang ejaan telah selesai dilakukan untuk bahasa Indonesia. Pembakuan ejaan ini telah melalui proses yang cukup panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan Van Ophuijsen pada tahu 1901, dilanjutkan dengan perbaikannya yang disebut ejaan Suwandi atau ejaan Republik pada tahun 1947, lalu diteruskan dengan penyempurnaan dengan ditetapkannya EYD pada tahun 1972 dan revisinya pada tahun 1988.
Pembakuan dalam bidang tata bahasa juga sudah dilakukan yakni dengan telah diterbitkannya buku tata bahasa yang diberi nama Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosakata dan peristilahan juga telah lama dilakukan. Pembakuan unsur leksikal dapat dilihat dari (1) ejaan, (2) lafalnya, (3) bentuknya, dan (4) sumber pengambilannya.
Berkenaan dengan adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis, serta adanya derajat kebakuan, Halim (1980) menyatakan perlunya dibedakan ragam baku lisan dengan ragam baku tulis. Perlu pula dibedakan ragam baku nasional dengan ragam baku daerah sehubungan dengan sangat sukarnya menentukan kebakuan ragam bahasa lisan.

Praanggapan Bahasa

Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya). Konsep pranggapan ini berasal dari perbedaan dalam ilmu falsafah, khususnya tentang hakikat rujukan (apa-apa, benda/keadaaan/ dan sebagainya, yang dirujuk arau dihujuk oleh kata, frase atau kalimat) dan ungkapan-ungkapan rujukan. Rujukan ini menjadi permasalahan inti dalam teori logika oleh sebab persoalan bagaimana cara menerjemahkan ungkapan-unkapan rujukan itu ke dalam bahasa logika yang bersifat ketat dan terbatas.
Menurut Lauren (1985:267) praanggapan adalah dasar dari fenomena wacana. Praanggapan memegang peranan penting di dalam menetapkan keruntutan wacana (Selingker et. Al.,1974 dalam Carl James, 1980:123). Menurut Fillmore yang dikutip oleh Coulter (dalam Psathas, Ed., 1979:167) dalam setiap percakapan, selalu digunakan tingkat-tingkat komunikasi yang implisit atau ilokusi. Menurut Leech (1981:228) praanggapan haruslah dianggap sebagai dasar dari kelancaran wacana yang komunikatif. Menurut Chaika (1982: 76), dalam beberapa hal wacana dapat dicapai melalui praanggapan.
Ahli falsafah yang bernama Gottlob Frege mengatakan:
“ kalau ada sesuatu pernyataan, maka selalu ada sesuatu praanggapan bahwa nama-nama (atau kata benda) yang dipakai itu, baik sederhana atau majemuk, mempunyai suatu rujukan.
Selain itu Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Sejalan dengan hal tersebut, Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) juga memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna.
Selanjutnya, pendapat lain dikemukakan oleh Louise Cummings (1999: 42) bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu.
Praanggapan telah didefinisikan dengan berbagai cara, namun secara umum praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan tertentu.


Contohnya dalam ujaran-ujaran berikut:
Ali menyesal telah membunuh ayahnya.

Dipraanggapkan bahwa Ali membunuh ayahnya.

Contoh lain:
Saya tidak jadi pergi liburan bersama Ayu.
Tidaklah bila ditafsirkan bila pendengar atau pembaca tidak dapat membuat praanggapan siapa sebenarnya orang yang bernama Ayu itu. Tuturan seperti itu hanya dapat dinilai komunikatif bila penutur membuat praanggapan bahwa lawan bicara mengetahui siapa sebenarnya orang yang bernama Ayu itu. Pengetahuan itu dapat bersumber dari pengalaman dan dapat pula bersumber dari konteks wacana.

B. Ciri-ciri Praanggapan
Ciri-ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat kebenaran di bawah penyangkalan (Yule;2006:45). Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan (presuposisi) suatu pernyataan akan tetap benar walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh perhatian beberapa kalimat berikut:
(1) Gitar budi itu baru.

(2) Gitar budi tidak baru
Kalimat (2) bentuk negative dari kalimat (1). Praanggapan kalimat (1) adalah Budi memiliki gitar. Dalam kalimat (2) ternyata praanggapan itu tidak berubah meski kalimat (2) mengandung penyangkalan dari kalimat (1) yaitu memiliki praanggapan yang sama bahwa Budi memiliki gitar.
Wijana dan Nadar (2009:64) menyatakan bahwa sebuah kalimat dinyatakan mempreposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua (kalimat yang dipreposisikan) mengakibatkan kalimat pertama tidak dapat dikatakan benar atau salah. Untuk memperjelas pernyataan tersebut perhatikan contoh berikut:
(1) Istri pejabat itu cantik sekali.

(2) Pejabat itu mempunyai istri.
Kalimat (2) merupakan praanggapan dari kalimat (1). Kalimat tersebut dapat dinyatakan benar atau salahnya bila pejabat tersebut mempunyai istri. Namun, bila berkebalikan dengan kenyataan yang ada (pejabat tersebut tidak mempunyai istri), kalimat tersebut tidak dapat ditentukan kebenarannya.
C. Jenis-jenis Praanggapan
Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejulah besar kata, frasa, dan struktur (Yule; 2006 : 46). Selanjutnya George Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu :
1. Presuposisi Eksistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah praanggapan yang menunjukkan eksistensi/keberadaan/jati diri referen yang diungkapkan dengan kata definit.
Contoh:
(4) a. Orang itu berjalan
b. Ada orang berjalan
2. Presuposisi Faktif
Preuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.
Contoh:
(5).a.Dia tidak menyadari bahwa ia sakit
b.Dia sakit
(6).a.Kami menyesal mengatakan kepadanya
b.Kami mengatakan kepadanya
3. Presuposisi Leksikal
Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) pahami.
Contoh:s
(7) a.Dia berhenti merokok
b.Dulu dia biasa merokok

(8).a.Mereka mulai mengeluh
b.Sebelumnya mereka tidak mengeluh
4. Presuposisi Non-faktif
Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.
Contoh:
(9).a.Saya membayangkan bahwa saya kaya
b.Saya tidak kaya

(10).a.Saya membayangkan berada di Hawai
b.Saya tidak berada di Hawai
5. Preuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada struktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat Tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata Tanya (kapan dan di mana) sesudah diketahui sebagai masalah.
Contoh:
(11).a.Di mana Anda membeli sepeda itu?
b.Anda membeli sepeda
(12).a.Kapan dia pergi?
b.Dia pergi

6. Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang dipraanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.
Contoh:
(11).a.Seandainya saya ikut bersama ibu, saya pasti tidak akan terlambat.

Semantik Bahasa

Semantik disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistic yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistic dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistic yang mempelajari makna atau arti baahasa. Oleh karena itu kata semantic dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti.
Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantic antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan atau relasi makna tersebut menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya.
Berikut ini akan dibicarakan masalah relasi makna kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas) dan kelebihan makna (redundansi).
A. Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Contohnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna
1. Bagian tubuh dari leher ke atas, seperti yang terdapat pada manusia dan hewan.
2. Bagian dari sesuatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal yang penting atau terutama.
3. Bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat.
4. Pemimpin atau ketua.
5. Jiwa atau orang.
6. Akal budi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia kata kepala setidaknya mengacu pada enam makna. Padahal sebenarnya pengertian awal bahwa setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni disebut sebagai makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya. Contohnya :
1. Kepalanya terluka akibat terkena pecahan kaca.
2. Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor.
3. Kepala jarum itu terbuat dari plastik.
4. Kepala kantor itu bukan paman saya.
5. Setiap kepala menerima bantuan Rp 5.000,00.
6. Badannya besar tetapi kepalanya kosong.
Jika kita perhatikan kata kepala dengan segala macam maknanya,maka kita dapat menyatakan bahwa makna-makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkut pautnya dengan makna asal , karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Makna-makna yang bukan makna asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal sebab tidak merujuk pada referen kata itu. Lagi pula kehadirannya harus pula dalam satuan-satuan gramatikal yang lebih tinggi dari kata seperti frase atau kalimat.kata kepala yang berarti ‘pemimpin’ atau ‘ketua’ baru muncul dalam pertuturan karena kehadirannya dalam frase seperti kepala sekolah. Tanpa kehadirannya dalam satuan gramatikal yang lebih besar dari kata, kita tidak akan tahu akan makna-makna lain itu. Berbeda dengan makna asalnya yang sudah jelas dari makna leksikalnya karena adanya referen tertentu dari kata tersebut.
B. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Ambiguitas atau ketaksaan adalah gejala yang dapat mengakibatkan kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda.tafsiran gramatikal yang berbeda itu umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena bahasa tulis unsur segmentalnya tidak dapat digambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi
1. Buku sejarah itu baru terbit.
2. Buku itu memuat sejarah zaman baru.
Contoh lain , kalimat Orang malas lewat di sana, dapat ditafsirkan sebagai
1. Jarang ada orang yang mau lewat di sana.
2. Yang mau lewat di sana hanya orang-orang malas.
Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Tetapi di dalam bahasa tulis penafsiran ganda ini dapat saja terjadi jika penanda-penanda ejaan tidak lengkap diberikan. Barangkali jika contoh buku sejarah baru dimaksudkan untuk makna atau penafsiran maka sebaiknya ditulis sebagai berikut:
1. Buku - sejarah baru.
2. Buku sejarah-baru.
Dari pembicaraan tersebut terlihat bahwa ketaksaan itu hanya terjadi dalam bahasa tulis, akibat dari perbedaan gramatikal karena ketiadaan unsur intonasi.




C. Redundansi
Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Misalnya, dalam kalimat Bola itu ditendang oleh Dika. Jadi tanpa menggunakan preposisi oleh maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola itu ditendang Dika. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi.yang berlebih-lebihan yang sebenarnya tidak perlu.
Secara semantik masalah redundansi sebetulnya tidak ada. Sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun berbeda. Jadi, kalimat Bola itu ditendang oleh Dika berbeda maknanya dengan kalimat Bola itu ditendang Dika. Pemakaian kata oleh pada kalimat pertama akan lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) daripada kalimat kedua yang tanpa kata oleh.
Sesungguhnya pernyataan yang mengatakan pemakaian oleh pada kalimat pertama adalah sesuatu yang redundansi atau mubazir karena makna kalimat itu tidak berbeda dengan kalimat yang kedua. Memang dalam ragam bahasa baku kita dituntut untuk menggunakan kata-kata secara efisien, sehingga kata-kata yang dianggap berlebihan sepanjang tidak mengurangi atau mengganggu makna, harus dibuang. Tetapi dalam analisis semantik, setiap penggunaan unsur segmental dianggap membawa makna masing-masing.

A. Pengertian Linguistik

Kata linguistik ( berpadanan dengan linguistic dalam bahasa Inggris, linguistique dalam bahasa Prancis, dan linguistiek dalam bahasa Belanda) berasal dari kata lingua (bahasa Latin) yang berarti bahasa. Di dalam bahasa-bahasa Roman terdapat kata yang serupa atau mirip dengan kata Lingua itu. Antara lain, lingua dalam bahasa Italia, lengue dalam bahasa Spanyol, langue dan langage dalam bahasa Prancis. Langue berarti bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris, bahasa Jawa, dan bahasa Prancis.Sedangkan langage berarti bahasa secara umum yang bersifat menusiawi.
Secara umum linguistik lazim diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, 1982:99). Secara lebih rinci dalam Webster’s New Collegiate Dictionary (Nikelas, 1988:10) dinyatakan linguistics is the study of human speech including the units, nature, structure, and modification of languageba ‘linguistik adalah studi tentang ujaran manusia termasuk unit-unitnya, hakikat bahasa, struktur, dan perubahan-perubahan bahasa. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Nikelas, 1988:10) dinyatakan linguistic adalah ilmu tentang bahasa yang menelaah, misalnya tentang struktur bahasa, pemerolehan bahasa dan tentang hubungannya dengan bentuk-bentuk lain dari komunikasi.
Pada paparan berikut ini dikemukakan beberapa defenisi bahasa diambil dari berbagai sumber sebagai bahan kajian.
1. Bahasa adalah alat komunikasi antara masyarakat, berupa lambing bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1984:16).
2. Bahasa adalah alat yang sistematis untuk menyampaikan gagasan atau perasaan dengan memakai tanda-tanda, bunyi-bunyi, gesture, atau tanda-tanda yang disepakati yang mengandung makna yang dapat dipahami (Woster’s Third New International Dictionary of the English Language, 1961:1270).
3. Bahasa adalah system lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berinteraksi, serta mengidentifikasi diri (Kridalaksana dan Kentjono, 1982:2).
4. Bahasa adalah sistem simbol vokal yang arbitrer yang memungkinkan semua orang dalam suatu kebudayaan tertentu atau orang lain yang memelajari sistem kebududayaan itu untuk berkomunikasi atau berinteraksi (Finochiaro, 1964:8).
Kalau ditelaah mendalam keempat definisi di atas, tampaklah persepsi yang berbeda-beda tentang pengertian bahasa. Perbedaan itu dapat dilihat dari sudut pandang para ahli berdasarkan eksistensi bahasa itu. Definisi 1 dan 2 disuatu puhak berbeda dengan definisi 3 dan4 sebagai pihak yang lain. Definisi 1 dan 2 menitikberatkan pandangan pada fungsi bahasa itu sebagai alat komunikasi. Hal itu menunjukkan bahwa definisi 1 dan 2 masih memiliki acuan yang luas, yaitu segala sesuatu (semua alat) yang dapat digunakan untuk menyampaikan gagasan dan pesan. Keluasan definisi 1 dan 2 diatas tampak pula bahwa tanda yang dimaksudkan dalam bahasa bukan hanya tanda bahasa ( linguistic sign ), tetapi juga tanda-tanda lain, termasuk gestur. Keluasan lain dari definisi 1 dan 2 diatas adalah semua bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, termasuk bunyi siul, batuk dan sebagainya ditafsirkan sebagai bunyi bahasa.
Berbeda dengan defenisi 1 dan 2, defrnisi 3 dan 4 menitikberatka pada cirri-ciri atai sifat-sifat bahasa ( karakteristik bahasa ). Beberapa hal yang menarik untuk disimpulkan sebagai unsur persamaan pada defenisi 3 dan 4 diatas, adalah a) bahasa merupakan suatu sistem; b) sebagai system, bahasa bersifat arbitrer; dan c) sebagai system arbitrer, bahasa dap[at digunakan untuk berinteraksi, baik dengan orang lain maupun diri sendiri.