Senin, 18 April 2011

Rekayasa Bahasa

BAB II
PEMBAHASAN

Topik-topik yang dibahas dalam rekayasa bahasa antara lain:
A. Kebijaksanaan Bahasa
Berdasarkan rumusan yang disepakati dalam seminar politik bahasa nasional yang diadakan di Jakarta tahun 1975 maka kebijaksanaan bahasa itu dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional (Halim, 1976). Jadi, kebijaksanaan bahasa merupakan satu pegangan yang bersifat nasional untuk membuat perencanaan tentang cara membina dan mengembangkan satu bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan secara tepat di seluruh negara, dan dapat diterima oleh segenap warga yang secara lingual, etnis, dan kultur berbeda.
Tujuan kebijaksanaan bahasa adalah berlangsungnya komunikasi kenegaraan dan komunikasi interbangsa dengan baik tanpa menimbulkan gejolak sosial dan emosional yang dapat mengganggu stabilitas bangsa.
Kebijaksanaan bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunikasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Selain memberikan keputusan mengenai status dan fungsi suatu bangsa, kebijaksanaan bahasa juga harus memberi pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa yang biasa disebut korpus bahasa. Korpus bahasa menyangkut semua komponen bahasa yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata, dan semantik. Komponen ini harus juga diperhatikan agar kebijaksanaan itu bersifat menyeluruh dan tuntas. Selanjutnya segala masalah kebahasaan yang ditemukan dalam menetapkan kebijaksanaan harus segera dirumuskan dalam bentuk perencanaan bahasa.

B. Perencanaan Bahasa
Perencanaan bahasa merupakan kegiatan yang harus dilakukan sesudah melakukan kebijaksaan bahasa. Istilah perencanaan bahasa mula-mula digunakan oleh Haugen (1966) untuk pengertian usaha untuk membimbing pengembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang sudah diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan.

Di Indonesia, kegiatan yang serupa dengan language planing ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu dikenal ole Haugen yakni sejak zaman pendudukan jepang ada Komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisahbana menerbitkan majalah Pembina Bahasa Indonesia tahun 1948. Bahkan, jika dilihat lebih jauh, language planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa Melayu (Indonesia) pada tahun 1901 , disusul dengan berdirinya Commisie voor Volkslectuur tahun 1908, yang pada tahun 1917 berubah namanya menjadi Balai Pustaka, lalu disambung dengan Sumpah Pemuda tahun 1928 kemudian Kongres Bahasa 1 tahun 1938 di Solo (Chaer & Agustina, 1995: 244).
Istilah yang digunakan Alisyahbana adalah language engineering. Cita-cita Alisyahbana adalah mengembangkan bahasa yang teratur di dalam konteks perubahan sosial, budaya dan teknologi yang lebih luas berdasarkan perencanaan yang cermat. Menurut Alisyahbana, language engineering yang penting adalah pembakuan bahasa, pemodernan bahasa, dan penyediaan alat perlengkapan seperti buku pelajaran dan buku bacaan (Moeliono, 1985).
Dari uraian di atas ada berbagai istilah dengan berbagai variasi pengertian tentang perencanaan bahasa. Namun, ada suatu kesamaan, yaitu usaha untuk membuat penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa dalam satu negara menjadi lebih baik dan lebih terarah di masa depan.
Dari berbagai kajian dapat dilihat sasaran perencanaan bahasa itu (yang dilakukan setelah menetapkan kesatuan bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan), yaitu pembinaan dan pengembangan bahasa yang direncanakan (sebagai bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan, dsb) dan khalayak di dalam masyarakat yang diharapkan akan menerima dan menggunakan saran yang diusulkan dan ditetapkan.
C. Pembakuan Bahasa
1. Bahasa Baku
Berbicara tentang bahasa baku (lebih tepat disebut ragam bahasa baku) dan bahasa karena yang disebut bahasa baku itu adalah salah satu variasi bahasa (dari sekian banyak variasi) yang diangkat dan disepakati sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolok ukur sebagai bahasa yang baik dan benar dalam komunikasi yang bersifat resmi baik lisan maupun tulisan.
Bahasa ragam baku adalah ragam bahasa yang sama dengan bahasa resmi kenegaraan yang digunakan dalam situasi resmi kenegaraan termasuk dalam pendidikan, dalam buku pelajaran, dalam undang-undang, dsb. Sejalan dengan itu, Halim mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian warga masyarakat pemakaiannya sebagai ragam resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dan penggunaanya, sedangkan ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilambangakan dan ditandai dengan ciri-ciri yang menyimpang dari norma baku. Sebagai kerangka rujukan, ragam baku ditandai oleh norma dan kaidah yang digunakan sebagai pengukur benar atau tidaknya penggunaan bahasa.

2. Fungsi Bahasa Baku
Selain fungsi penggunaan untuk situasi-situasi resmi, ragam bahasa baku menurut Gravin & Mathiot (1968 :785-787) juga mempunyai fungsi lain yang bersifat sosial politik, yaitu 1)fungsi pemersatu, 2)fungsi pemisah, 3) fungsi harga diri, 4) fungsi kerangka acuan.
Yang dimaksud dengan fungsi pemersatu adalah kesanggupan bahasa baku untuk menghilangkan perbedaan variasi dalam masyarakat dan membuat terciptanya kesatuan masyarakat tutur serta memperkecil adanya perbedaan variasi dialektal dan menyatukan masyarakat tutur yang berbeda dialeknya.
Yang dimaksud dengan fungsi pemisah adalah ragam bahasa baku itu dapat memisahkan atau membedakan penggunaan ragam bahasa untuk situasi yang formal dan yang tidak formal. Pemisahan fungsi ragam baku dan nonbaku tidak akan menimbulkan persoalan atau gejolak sosial selama ragam-ragam tersebut digunakan pada tempatnya.
Yang dimaksud dengan fungsi harga diri dalah bahwa pemakai ragam baku itu akan memiliki perasaan harga diri yang lebih tinggi daripada yang dapat menggunakannyasebab ragam bahasa baku biasanya tidak dapat dipelajari dari lingkungan keluarga atau lingkungan hidup sehari-hari. Ragam baku hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Fungsi harga diri ini menurut Fishman (1970) bahwa ragam bahasa baku mencerminkan cahaya kemuliaan, sejarah, dan keunikan seluruh rakyat. Ragam baku juga merupakan lambang atau simbol suatu masyarakat tutur.
Yang dimaksud dengan fungsi kerangka acuan adalah ragam bahasa baku itu akan dijadikan tolok ukur untuk norma pemakaian bahasa yang baik dan benar secara umum.
Keempat fungsi itu dapat dilakukan oleh sebuah ragam bahasa baku kalau ragam bahasa baku itu telah memiliki tiga ciri yang sangat penting, yaitu : 1) kemantapan yang dinamis, 2) kecendekiaan dan 3) ciri kerasionalan.
3. Pemilihan Ragam Baku
Dari sekian banyak ragam atau variasi suatu bahasa, ragam atau variasi mana yang harus dipilih untuk dijadikan ragam bahasa baku? Dalam hal ini Moeliono (1975: 2) mengatakan pada umumnya yang layak dianggap bahasa baku adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaanya. Termasuk di dalamnya para pejabat negara, para guru, warga media massa, alim ulama, dan cendekiawan.
Dasar atau kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan atau memilih sebuah ragam menjadi ragam bahasa baku antara lain: 1). Otoritas, 2). Bahasa penulis-penulis terkenal, 3). Demokrasi, 4). Logika, dan 5). Bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka dalam masyarakat.
Dewasa ini otoritas untuk pembakuan bahasa Indonesia ada pada Lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, dalam proses pembakuan bahasa Indonesia sudah seharusnya lembaga ini mencari dan mengumpulkan data (yang di ambil dari orang terkemuka), menganalisis, mengatur, dan menyusun kaidah-kaidah lalu menyebarluaskan kepada masyarakat luas.
4. Bahasa Indonesia Baku
Secara resmi fonem-fonem bahasa Indonesia telah ditentukan keberadaannya tetapi mengenai lafal atau ucapannya belum pernah dilakukan pembakuan. Namun, ada semacam konsensus yang merumuskannya berbentuk negatif, bahwa yang disebut lafal bahasa Indonesia yang benar adalah lafal yang tidak lagi menampakkan ciri-ciri bahasa daerah.
Pembakuan dalam bidang ejaan telah selesai dilakukan untuk bahasa Indonesia. Pembakuan ejaan ini telah melalui proses yang cukup panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan Van Ophuijsen pada tahu 1901, dilanjutkan dengan perbaikannya yang disebut ejaan Suwandi atau ejaan Republik pada tahun 1947, lalu diteruskan dengan penyempurnaan dengan ditetapkannya EYD pada tahun 1972 dan revisinya pada tahun 1988.
Pembakuan dalam bidang tata bahasa juga sudah dilakukan yakni dengan telah diterbitkannya buku tata bahasa yang diberi nama Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosakata dan peristilahan juga telah lama dilakukan. Pembakuan unsur leksikal dapat dilihat dari (1) ejaan, (2) lafalnya, (3) bentuknya, dan (4) sumber pengambilannya.
Berkenaan dengan adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis, serta adanya derajat kebakuan, Halim (1980) menyatakan perlunya dibedakan ragam baku lisan dengan ragam baku tulis. Perlu pula dibedakan ragam baku nasional dengan ragam baku daerah sehubungan dengan sangat sukarnya menentukan kebakuan ragam bahasa lisan.

0 komentar:

Posting Komentar